Kamis, 12 Juni 2014

Manusia dan keadilan

A. PENGERTIAN KEADILAN 
    
 Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. 
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu 
banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau 
benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah 
ditetapkan, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, 
sedangkan pelanggaran terhadap proposi tersebut berarti ketidak adilan. 
 Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang 
dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya 


Dan Dibawah ini saya akan ulas contoh kasus ketidak adilan 
Pembantaian Rawagede 1947 



 Jalannya peristiwa

Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: "didredet"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.



Kejahatan perang

Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktifis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.
KUKB menyampaikan petisi yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Selain itu, KUKB juga mewakili para janda korban pembantaian di Rawagede untuk menyampaikan tuntutan para janda dan keluarga korban pembantaian atas kompensasi dari Pemerintah Belanda. Pada 15 Agustus 2006, KUKB bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah.



Pemerintah Belanda Dinyatakan Bersalah

Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian di tahun 1947 itu. Jaksa pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kadaluwarsa Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2011 menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.



            B. KEADILAN SOSIAL

Berbicara tentang keadilan, anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah 
Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat 
Indonesia" seharusnya pemerintah melakukan tekanan keras terhadap pemerintah belanda   untuk untuk ikut bertanggung jawab atas tindakan pasukan belanda yang melakukan 
Pembantaian Rawagede 1947 


C. KEJUJURAN 

Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan 
hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. 
Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur 
juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh 
agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang 
berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu 
jujur juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata 
ataupun yang masih terkandung dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan 
dan niat. kejujuran yang di lakukan belanda adalah mengakui telah terjadinya 
kasus Pembantaian Rawagede 1947

D.KECURANGAN

Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik,meskipun tidak serupa. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati nuraninya atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha,sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar. Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah,tamak,ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang hebat,paling kaya dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita.
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Ada empat aspek yakni aspek ekonomi,aspek kebudayaan,aspek peradaban,dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar,maka segalanya akan berjalan sesuai norma-norma moral. Akan tetapi apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan terjadilah kecurangan.
salah satu kecurangan yang ada dalam kasus Pembantaian Rawagede 1947 adalah sebelum belanda melakukan Perjanjian Renville  belanda melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah Karawang padahal indonesia sudah merdeka pada saat itu


           E. PEMBALASAN 

Pembalasan ialah suatu reaksi atau perbuatan orang lain. Reaksi itu berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. pembalasan yang di lakukan oleh tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas   kejadian di tahun 1947 itu dan Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah.




sumber :

http://indonesiaindonesia.com/f/113282-pembantaian-rawagede-1947-a/

http://ocw.gunadarma.ac.id/course/psychology/study-program-of-psychology-s1/ilmu-budaya-dasar/manusia-dan-keadilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar