Serangan Fajar (Money Politics)
1.1.
Latar belakang masalah
Tindakan
yang sering terjadi dalam suatu pemilu atau pilkada adalah money politics atau lebih
di kenal di indonesia adalah serang fajar dalam dunia politik Indonesia,
serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang atau Money politics dalam rangka membeli suara yang di lakukan oleh satu atau beberapa orang untuk
memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik. Money politics umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap
terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Bentuk politik uang yang
dilakukan adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang hari pemungutan
suara dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau bakal calon pemimpin
negara atau daerah tertentu.
1.2.
Batasan masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas adalah perngertian money poltics dalam pemilu dan pilkada.
1.3.
Landasan teori
serangan fajar atau money politics bukanlah fenomena baru dalam jagad politik tanah
air. Praktik politik kotor ini inheren dalam budaya dan sistem politik
elektoral kita. Dalam setiap hajatan pemilu, hampir bisa dipastikan semua
kontestan menggunakan uang untuk mempengaruhi partisipasi pemilih. Secara legal
formal, money politics dianggap ilegal dan melanggar hukum. Meski pelakunya
diancam hukuman penjara, namun barter suara demi uang justru makin marak.
Dalam
konteks ini, teori Niccolo Machiavelli menemukan relevansinya. Bukunya II
Principe yang ditulis tahun 1500-an Masehi menginspirasi para petualang politik
bahwa kekuasaan bisa diperoleh dengan cara apapun. Bagi Machiavelli dunia
politik itu bebas nilai. Politik jangan dikaitkan dengan persoalan moralitas.
Dalam politik yang terpenting bagaimana seseorang berusaha dengan berbagai
macam cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Meski cara-cara tersebut
inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Samuel
P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice (1977) menyodorkan dua
model partisipasi yaitu, partisipasi otonom (autonomous participation) dan
partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Partisipasi jenis
pertama merupakan kegiatan suka rela warga negara. Artinya, partisipasi
dilakukan dengan tanpa paksaan dan bebas dari pengaruh apapun. Sedangkan
partisipasi jenis kedua merupakan partisipasi yang digerakkan oleh banyak
faktor seperti ancaman, tekanan dan intimidasi serta suap.
Dalam
kategori teori Huntington dan Nelson, politik uang merupakan bagian dari
partisipasi yang dimobilisasi karena tidak didasarkan pada pilihan rasional.
Rakyat mencoblos karena ada iming-iming uang bukan karena pilihan sadar tentang
pemimpin berdasarkan visi dan misi. Praktik politik uang ini akibat dari
mahalnya ongkos demokasi kita.
Demokrasi
semu (pseudo demokrasi). Pemilu dibuat seolah demokratis, diciptakan sebuah
kondisi seolah-olah demokratis meski sebenarnya bukanlah demokrasi yang hakiki.
Demokrasi kita yang begitu besar, ternyata dibarengi dengan praktik politik
yang tidak demokratis.
1.4.
Pembahasan
Praktik serangan fajar atau money politics tentu menjadi kisah menyedihkan dalam pemilu kita. Sedih karena
rakyat memaknai ritual demokrasi lima tahunan ini sebatas ajang mencari
keuntungan materi. Sementara elit tak ada hentinya mengeksploitasi rakyat
sebagai objek jual beli suara demi ambisi kekuasaan. Tak ada lagi ruang beradu
argumen visi dan misi serta program kerja calon, yang ada hanyalah ruang
transaksi logistik antara elit dan rakyat.
Menghalalkan
macam cara tampak dalam praksis sejumlah kader partai politik yang melakukan money politics untuk meraih kekuasaan. Pemilih
yang menerima money politik biasanya kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Bentuk politik uang yang dilakukan adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang hari pemungutan suara dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau bakal calon pemimpin negara atau daerah tertentu.
1.5.Kesimpulan
Menurut
penulis dari praktik serangan fajar atau money politics Pertama, sulitnya menciptakan pemilu jujur,
keadilan, dan fair. Dengan uang kemenangan dapat dibeli. Dalam kondisi semacam
itu, tentu yang akan lahir adalah pemimpin despotik dan tidak pro rakyat.
Kedua, Merusak kepercayaan publik. Pemilu tak lagi dipercaya sebagai sistem
yang dapat melahirkan pemimpin baik karena
pemilu bisa direkayasa dengan uang. Siapapun calonnya, bisa dipastikan yang
menang adalah mereka yang mempunyai kecukupan kapital.
Oleh
karena itu, proses pendidikan politik dan pemilih cerdas senantiasa selalu
digelorakan guna menciptakan demokrasi yang sehat. Tanpa itu semua, kita pasti
akan kesulitan mengkonsolidasikan demokrasi. Sebagai catatan akhir, partisipasi
rakyat secara suka rela sebagai prasayat untuk menciptakan sistem demokratis
demi lahirnya pemimpin adil dan berintegritas.
Refrensi