Senin, 06 Januari 2014

Masalah sosial Money-politics sebagai kontrak sosial


Money-politics sebagai kontrak sosial   


Seorang bupati yang baru dilantik, pernah menggerutu di hadapan stafnya ketika harus menerima serombongan masyarakat yang berdemonstrasi kekantornya. “… wah apa apa-an lagi nih,… kan … semua mereka … sudah saya bayar … lunas …!” Sang Bupati ini merasa sesudah semua kewajibannya dalam “money politics” terbayar  sebelum dia terpilih, maka sesudah  dilantik, kewajiban (kontrak)-nya kepada pemilihnya dianggapnya telah berakhir pula. 

Kalau dia harus membangun masyarakat di daerah itu nanti, dianggapnya pembangunan itu hanya sebagai sebuah proyek yang akan mengembalikan investasi yang telah ditanamnya dalam bentuk “money” politik tadi. Itulah persisnya sebuah kontrak “money” politik. Begitu juga dengan para anggota DPR (Pusat, tingkat I dan II) yang terpilih dengan kontrak “money politics,” setelah dia terpilih dan dilantik, maka hubungan dengan masyarakat pemilihnya selesai pula. Sebab itu, banyak anggota DPR yang merasa tidak punya tanggung jawab moral, turut berduka atau terpanggil untuk membantu, ketika masyarakat pemilihnya sedang dilanda musibah, seperti banjir bandang, tsunami atau di sapu abu dan lahar panas letusan gunung merapi. 

Dianggapnya kontrak “money” politik-nya telah lama berakhir, “it’s finish! Yee, finished!” Karena itu, dia juga heran mengapa ketika dia harus “begadang” (studi banding) keluar negeri masih dihubung-hubungkan dengan musibah segala. “Jika ada musibah, ya itu kan sudah nasib mereka. Kalau takut dilamun ombak, ha … jangan berumah di tepi pantai! Jelaskan? Kita harus rasional, tahu diri …!” dan seterusnya, dan seterusnya …. Komentar seperti ini secara spontan dapat muncul dari anggota-anggota DPR kita yang terhomat itu.

Tetapi, kalau kontrak itu adalah kontrak moral politik, sebuah kontrak atau perjanjian yang diikat oleh cita-cita, ideologi, nilai-nilai luhur Pancasila dan tanggung jawab terhadap konstitusi bangsa. Hubungan antara dia sebagai pejabat yang terpilih apakah itu gubernur, bupati/walikota atau anggota DPR, tidak berakhir ketika dia sebagai pejabat atau anggota DPR terpilih dan dilantik. Bahkan kontrak atau perjanjian itu baginya baru dimulai, pada hari terpilih atau dilantik, minimal secara formal akan berakhir sampai selesai periode masa dia bertugas sebagai pejabat atau anggota DPR. 

Bahkan, karena ikatan tanggung jawab moral politik tadi telah terbuhul, maka tanggung jawab itu bagi dirinya sebagai seorang pemimpin sejati, dirasakannya akan berlangsung seumur hidup (long life responsibility). Dia merasa berhutang budi selama hayatnya, kepada masyarakat yang telah pernah memberi amanah dan kepercayaan kepadanya. Seperti kata pepatah “hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati.” Tetapi, kenyataannya sangat sedikit yang merasa bahwa Pilkada itu dilaksanakan dalam rangka membangun kontrak moral politik, membangun amanah dan kepercayaan moral (social-trust) masyarakat, yang menuntut tanggung jawab moral.

Sejatinya dalam sebuah kontrak sosial itu, masyarakat melimpahkan sebagian kekuasaannya sebagai warga negara yang berdaulat kepada seorang calon pemimpin. Bahwa kekuasaan itu akan dipergunakan sang calon tadi kalau terpilih, untuk kemashalatan atau kesejahteraan rakyat pemilih tadi. Menurut Rousseau, seorang tokoh filsafat naturalisme, penemu konsep kontrak sosial ini--apabila sang pemimpin tidak menggunakan kekuasaan yang diberikan tadi untuk tujuan yang disepakati itu, maka rakyat berhak mengambil atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan tadi--dan dengan demikian kontrak itu batal. Artinya pejabat itu dapat diberhentikan seketika, karena dia telah berbuat “wan-prestasi”. Pada prinsipnya konstitusi RI menganut faham demokrasi kontrak sosial ini. 

Kita berharap suatu ketika nanti, rakyat dapat mengajukan “tuntutan” (clash action) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa seseorang pejabat atau anggota DPR dianggap telah melakukan “wan-prestasi” (pelanggaran) terhadap kontrak sosial itu. Dengan demikian MK tidak hanya mengurus pelanggaran Pilkada, tetapi juga pelanggaran terhadap kontrak sosial (kontrak moral politik) seorang pejabat publik. Namun, karena sebagian pejabat dan anggota DPR kita merasa tidak pernah terlibat dalam kontrak sosial atau kontrak moral politik, tetapi hanya dalam kontrak money politics, maka dia merasa tidak pantas untuk digiring ke MK sebagai pelanggar kontrak sosial.  

Akibat “money” politik
Dari hitungan-hitungan material yang sederhana, apabila seorang bupati/walikota yang terlibat dalam money politics, telah menghabiskan dana sebesar 50M saja, untuk memenangkan Pilkada, maka investasi sebesar itu harus dapat dikembalikannya maksimal selama priodenya (lima tahun). Jadi, setiap tahun dia harus mampu men-“safe” (menabung) dana minimal (setelah ditambah bunga dan inflasi) sebesar 12M pertahun, atau satu M setiap bulannya. 

Dari mana uang sebesar itu akan diperolehnya? Karena itu, seluruh waktu masa  jabatannya dia harus “putar otak” agar dapat menghasilkan dana sebesar itu. Memang banyak cara yang mungkin dikerjakannya, umpamanya melibatkan diri dalam “illegal logging” (penebangan hutan), konsesi penambangan, penyeludupan, kegitan import dan eksport, korupsi berbagai proyek pembangunan, dan berbagai cara lainnya. Untuk itu, dia dapat menciptakan berbagai peraturan daerah (Perda), untuk mengutip pajak atau iuran hasil hutan dan pertanian.

Bahkan dia dapat “melelang” jabatan-jabatan yang ada dalam lingkar kekuasaannya, dari mulai kepala desa atau lurah sampai kepada asisten atau Kepada Dinas dan Biro. Pendeknya dalam tiga tahun, semua investasi harus kembali, sehingga dua tahun berikutnya, dapat dipergunakan untuk cari untung atau menabung untuk modal “money”politik priode berikutnya. Kegiatan korupsi yang menggurita ini, dapat dipahami mengapa  pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri) umpamanya pernah merelease di media masa, bahwa mereka terpaksa membatalkan sekitar 260 buah Perda (2010) yang dikeluarkan Pemkab/kota dan provinsi,  karena dianggap telah membebani masyarakat atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi derajat hukumnya. 

Cerita di atas baru dampak secara material yang merangsang lahirnya korupsi di dalam pemerintahan otonomi. Sumber korupsi ini telah dibangun secara “build-up” dalam sistim Pilkada yang sarat dengan muatan “money” poltik tadi. Bagaimana kaitannya dengan pemerintah pusat dalam perimbangan keuangan antara pusat dan daerah otonomi, ternyata pelaksanaannya makin ruyam lagi. Memang pemerintah pusat mengalokasikan beberapa dana dalam rangka perimbangan antar daerah otonomi dan pusat, seperti DAU (dana alokasi umum), DAK (dana alokasi khusus) atau dana proyek-proyek pusat didaerah. 

Alokasi dana ini, sungguhpun telah ditetapkan atas dasar peraturan perundangan, tetapi pelaksanaannya sangat tergantung kepada “lobi” tingkat tinggi. Karena itu para bupati/walikota dan gubernur harus aktif melobi pemerintah pusat dan DPR Pusat. Pengalaman saya, ketika masih berstatus sebagai anggota kelompok ahli Gubsu, banyak bupati atau walikota yang antri di Jakarta untuk melobi berbagai departemen agar ada tambahan DAU, DAK atau proyek pusat untuk kabupaten/kota-nya. Mess-Mess Pemda kadang-kadang penuh sesak dengan bupati/walikota. Tetapi, kalau mereka telah berhasil, maka besoknya mereka pindah ke hotel berbintang, baru kita dapat tempat di Mess Pemda itu. 

Jadi, para bupati/walikota atau gubernur dalam masalah dana masih sangat tergantung pada pemerintah pusat. Bahkan banyak analis yang menyatakan bahwa ketergantungan daerah otonom kepada pusat tertama dalam soal dana pembangunan, sekarang jauh lebih tinggi dari pada zaman pemerintahan Orde Baru yang dianggap sentralisitis itu. Mencari dana proyek sebesar-besarnya dari pusat, juga merupakan usaha untuk dapat mengembalikan investasi money politics yang telah dikeluarkan waktu Pilkada. Bagaimana amburadulnya kualitas dan mekanisme proyek itu dilaksanakan nantinya di daerah telah dapat dibayangkan. Apakah kita sekarang berada di titik buntu, maju kena mundur kena?

    menurut  saya seharusnya masyarakat berpikir kembali untuk menerima money politics karena ini menyangkut masadepan masyarakat sendiri karena bila memilih pemimpin hanya karena di bayar dengan uang tentu pemimpin yang di pilih itu tidak benar dan tidak peduli dengan rakyat nya sendiri sehingga masyarakat harus berpikir kedepan tentang nasip nya ketika di pimpin oleh pemimpin yang di pilih menggunakan  uang bukan dari hati nurani rakyat sendiri.

sumber :
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157833:antara-moral-dan-money-politik&catid=25:artikel&Itemid=44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar